Kado Istimewa
Hai, aku
Dini, remaja 16 tahun yang duduk di kelas XI. Di sekolah aku memiliki 5 sahabat
yaitu Aurel, Rani, Bayu, Radit dan Dimas. Kami membentuk sebuah geng bernama
“geng kupu”. Tak hanya sekedar nama,
filosofinya adalah kami ingin persahabatan ini seerat kepompong dan seindah
kupu-kupu. Geng kami bertujuan untuk kegiatan positif dari mulai belajar
kelompok hingga bakti sosial bukan untuk memalak, tawuran apalagi penindasan.
Cukup ya perkenalannya, aku lelah mau tidur.
Alarm
berdering, ayam jago saling mengadu suara, matahari mulai tersenyum, aku
bergegas bangun dengan mata kantuk dan senyum lebarku. Aku sangat senang, ini
hari ulang tahunku. Aku tak sabar mendapat ucapan dan kado dari teman – teman,
aku juga ingin mentraktir mereka makan bakso di depan sekolah. Ku bersiap secepat
kilat sampai lupa bahwa hp ku tertinggal, untung saja cepat ingat. Sesampainya
disekolah, Aurel dan bayu sedang mengobrol di depan kelas, aku menyapa riang
namun hanya senyum tipis yang terlukis di wajah mereka dan langsung masuk ke
kelas.
Di
kelas, hanya ada aku dan kelima sahabatku, memang masih pagi sekali jadi siswa
belum pada datang. Terlihat Rani teman sebangkuku yang sedang merapikan laporan
yang akan dikumpulkan hari ini, ku sapa tapi wajahnya seperti tembok yang tanpa
ekspresi , aku mengerti bahwa ia sedang sibuk. Tiba – tiba Rani berbicara bahwa
ia ingin ke koperasi bersama Aurel dan menitipkan tugasnya kepadaku. Bayu,
Radit dan Dimas juga beranjak keluar entah mau kemana. Sebenarnya aku takut
sendirian dikelas, aku memang penakut. “Aduh”, aku menjerit kecil, perutku
sakit seperti tertusuk – tusuk ribuan jarum. Aku sudah tak tahan, bergegas ke
toilet dan meninggalkan tugas Rani diatas meja.
Sesampainya
di kelas, murid – murid sedang menenangkan Rani yang sedang menangis. Saat aku
tanya, tangisnya justru semakin kencang. Seketika Aurel mendorong ku dan
berkata bahwa aku yang menyebabkan semua ini. Laporan Rani hilang karenaku
meninggalkannya. Aku terkejut, sungguh aku tidak sengaja, aku sudah meminta
maaf dan menjelaskan yang sebenarnya namun mereka tidak percaya. Seisi kelas
memandangku dengan tatapan sinis dan curiga. Aku sangat merasa bersalah, aku
pun tak mengerti mengapa tidak ada yang mempercayaiku bahkan sehabatku sendiri.
Mulai detik ini, persahabatanku hancur. Aku, Rini dan lainnya diam seribu
bahasa.
Bel pulang berbunyi pukul
13:00 , mereka pulang tanpa melirikku
sedikitpun, mereka pulang bersama tanpa aku. Sesampainya di rumah, aku langsung
ke kamar dengan muka murung yang kusut. Aku menangis menatap mendugnya langit,
kenapa semua ini terjadi di hari istimewaku. Sungguh diluar ekspektasiku. Hp-ku
berdering kencang, aku tak peduli siapa yang menelpon, ku tak mau
mengangkatnya. Hp berdering lagi pertanda panggilan kedua, tercantum nomor tak
dikenal. Dengan berat hati aku mengangkatnya, mungkin penting. Terdengar suara
lelaki setengah baya yang mengatakan bahwa Rani diculik olehnya, dalam waktu 1
jam jika aku tidak bisa menemukannya, maka Rani akan mati ditangannya. Ku tersentak
dan menyeka air mataku. Dia sahabatku dan aku harus menyelamatkannya, aku
bergegas ke sebuah gedung tua tempat Rani disekap.
Gedung yang terdiri 8
lantai ini tak terawat. Aku ragu untuk masuk ke dalamnya, aku takut, suasananya
gelap dan mencekam. Namun demi Rani, aku akan melakukan apapun untuknya. Keadaan
di dalam gedung sangat kotor, cat dinding yang terkelupas, sarang laba – laba
dan daun kering yang berserakan, suasana sunyi tak bernyawa. Terlihat tanda
panah untuk menaiki tangga menuju ke lantai dua, aku melihat sekeliling dengan senter
dan perasaan gelisah. Di lantai dua terdapat banyak kamar, mungkin kantor atau
losmen dulunya. Aku menuju ke salah satu kamar, terletak cermin besar yang
telah retak dan bertuliskan “kamar dengan lukisan naga diatas pintunya!”. aku
menyenter sekeliling ruangan, tak ada pintu dengan lukisan naga diatasnya, aku
terus mencari. Ternyata aku sudah mebuang waktu 10 menit tapi aku belum
mendapat petunjuk apapun.
Akhirnya aku menemukan
pintu itu sambil melompat kegirangan, di dinding tertuliskan bahwa aku harus
mencari kotak hitam. Ku pikir aku sudah bisa menemukan Rani ternyata tidak.
Beberapa menit aku menggeledah ruangan, terlihat kotak di bawah tempat tidur,
didalamnya terdapat secarik kertas bertuliskan “pergi ke lantai lima, waktumu
hanya 45 menit”. Aku panik, 45 menit bukanlah waktu yang lama, ku bergegas
menaiki tangga yang licin itu. Di sela –
sela anak tangga yang tertutup rimbunnya daun kering bertuliskan “masuk ke
kamar yang memiliki pintu paling rusak lalu lihat ke bawah karpet” aku bingung,
semua pintu di lantai ini rusak parah. Mataku terpaku ke sudut ruangan dengan
pintu yang tergeletak di lantai, segera ku tengok ke bawah karpet, keluarlah
beberapa kecoak. Aku menjerit ketakutan dan berlari ke luar kamar. Setelah
keadaannya tenang, aku masuk dan melihat kesana lagi, tercetak tulisan spidol merah
yang menyatakan aku harus mengambil kunci yang tergantung di lantai tiga dan
kembali kesini.
Aku sudah berada di
lantai lima dan harus kembali ke lantai tiga sedangkan nafasku sudah terengah –
engah. Rasanya aku ingin menyerah, aku sudah tidak kuat dan aku tidak bisa
untuk melawan rasa takutku. Aku teringat Rani, ia sedang membutuhkanku, ia
lebih tersiksa daripada aku. Dengan sisa tenaga aku menuruni tangga dan mencari
kunci itu, aku sudah mengecek semua pintu, bagian depan dan belakang pintu tak
ada kunci. Aku pasrah duduk bersandar di meja di pojok ruang. Dengan mata buram
aku melihat kunci yang tergantu di subuah paku berkarat di bagian atas dinding.
Ku coba meraihnya namun tak sampai. Aku menggeret bangku dan menggenggam kunci
itu erat – erat.
Saat aku ingin menaiki
tangga, terlihat tulisan bahwa aku harus ke lantai enam. Berarti aku haru
melewati dua lantai dengan tangga yang panjang dan tinggi. Aku menyeka keringat dengan baju, entah sudah
seberapa kotor pakaianku. Di lantai enam, ruangan yang sangat luas tanpa kamar
atau pintu lain. Hanya ada beberapa meja dan kursi, mungkin ini sebagai ruang
pertemuan dulunya. Tanganku menyentuh meja yang penuh debu, ternyata ada sebuah
petunjuk. Si penculik menulis bahwa aku harus menemukan sapu tangan untuk
menyeka air mataku. Apa maksud dari semua ini, aku sedang tidak menangis saat
ini. Oh tidak, Rani sedang dalam bahaya, aku harus segera menyelamatkannya. Ku
geledah semua kolong meja dan aku menemukan sapu tangan yang tertutup beberapa
kertas dan buku. Sungguh permainan yang gila! Di sapu tangan tertulis “lihat
keatas”. Di langit – langit dinding tertulis waktumu hanya 15 menit lagi. aku
tersadar banyak waktu yang terbuang.
Tanpa pikir panjang aku
bergegas ke lantai tujuh, di sepanjang lantai aku menemukan barang – barang
milik Rani seperti jam tangan, gelang, kunciran hingga bercak sepatu dan
tetesan – tetesan darah. Seketika aku menangis karena takut dan panik, aku
tidak ingin Rani celaka. Aku terus menagis sambil menaiki tangga menuju lantai
delapan. Aku menggeledah seisi ruang, sudah kucari ke semua sudut ruangan. Ini
lantai terakhir namun tak ada satupun petunjuk yang ku temui. Aku sudah
terlunglai di lantai, sia – sia yang kulakukan, berbagai pikiran negatif telah
memenuhi kepalaku.
Tiba – tiba aku mendengar
suara teriakan, tapi aku tak tahu asal suara itu. Itu seperti suara Rani.
Semangatku berkobar kembali, aku berlari- lari di lantai itu untuk mencari
petunjuk dan akhirnya ku temukan sebuah tangga sepetak yang sepertinya menuju
ke bagian atap gedung. Dengan pelan ku
melangkah, terasa angin kencang menusuk tubuhku. Disana aku melihat Rani sedang
duduk diikat dengan mulut tertutup diatas bangku. Aku juga melihat si penculik
berpakaian serba hitam. Wajah Rani sangat ketakutan dan tiba – tiba penculik
memukul leher Rani dengan tongkat bambu. Rani langsung jatuh tak berdaya
bersama dengan bangkunya. Aku teriak memanggil namanya, kupeluk dia dengan
erat, aku tak mau kehilangannya. Air mataku mengalir deras, aku tak sanggup
melihatnya, aku sayang padanya. Dia adalah sahabat terbaikku.
Seketika lampu menyala
dan terdengan nyanyian ulang tahun dari arah belakangku. Aku menoleh, tak
kusangka semua sahabatku ada disana. Sahabat yang sejak pagi marah dan mencaci
aku. Mereka membwa kue dengan lilin angka 16. Rani terbangun dan bersalaman
dengan si penculik, aku tersentak kaget. Ternyata semua ini adalah kejutan yang
sengaja dibuat untuk merayakan hari istimewaku. Kini di depanku terlihat kawat
yang disusun rapi dengan tulisan selamat ulang tahun Dini. Aku terharu, ku tak
marah kepada mereka karena sudah mengerjaiku. Aku justru berterima kasih, ini
adalah kado teristimewa di hari istimewaku. Kalian memang sahabat terbaikku.
Aku
bangga memiliki kalian, bisa menciptakan rencana gila seperti ini. Kalian tahu
tidak, aku seperti di dalam permainan ular tangga yang harus menaiki dan
menuruni berbagai anak tangga dengan nafas yang tersendat – sendat. Tapi aku
tetap berjuang demi Rani sahabat kita. Mereka justru tertawa dan puas melihat
ekspresi ku yang kecapekan, mereka menjelaskan bahwa semuanya adalah rekayasa.
Laporan Rani sebenarnya tidak hilang, justru Rani sudah mengumpulkannya saat Dini
ke toliet, semua hanya akting. Satu – satunya lantai yang ku lewati adalah
lantai empat karena disanalah sahabatku menyiapkan segalanya, mulai dari alat dan
bahan, kostum, hingga teka teki. Aku percaya, kejadian ini membuat persahabatan
kita akan semakin erat. Kami berpelukan di bawah senjanya langit tertutup
indahnya mentari terbenam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar