Selasa, 25 Oktober 2016

Karya Annisa S.

Kado Istimewa

            Hai, aku Dini, remaja 16 tahun yang duduk di kelas XI. Di sekolah aku memiliki 5 sahabat yaitu Aurel, Rani, Bayu, Radit dan Dimas. Kami membentuk sebuah geng bernama “geng kupu”.  Tak hanya sekedar nama, filosofinya adalah kami ingin persahabatan ini seerat kepompong dan seindah kupu-kupu. Geng kami bertujuan untuk kegiatan positif dari mulai belajar kelompok hingga bakti sosial bukan untuk memalak, tawuran apalagi penindasan. Cukup ya perkenalannya, aku lelah mau tidur.

            Alarm berdering, ayam jago saling mengadu suara, matahari mulai tersenyum, aku bergegas bangun dengan mata kantuk dan senyum lebarku. Aku sangat senang, ini hari ulang tahunku. Aku tak sabar mendapat ucapan dan kado dari teman – teman, aku juga ingin mentraktir mereka makan bakso di depan sekolah. Ku bersiap secepat kilat sampai lupa bahwa hp ku tertinggal, untung saja cepat ingat. Sesampainya disekolah, Aurel dan bayu sedang mengobrol di depan kelas, aku menyapa riang namun hanya senyum tipis yang terlukis di wajah mereka dan langsung masuk ke kelas.

            Di kelas, hanya ada aku dan kelima sahabatku, memang masih pagi sekali jadi siswa belum pada datang. Terlihat Rani teman sebangkuku yang sedang merapikan laporan yang akan dikumpulkan hari ini, ku sapa tapi wajahnya seperti tembok yang tanpa ekspresi , aku mengerti bahwa ia sedang sibuk. Tiba – tiba Rani berbicara bahwa ia ingin ke koperasi bersama Aurel dan menitipkan tugasnya kepadaku. Bayu, Radit dan Dimas juga beranjak keluar entah mau kemana. Sebenarnya aku takut sendirian dikelas, aku memang penakut. “Aduh”, aku menjerit kecil, perutku sakit seperti tertusuk – tusuk ribuan jarum. Aku sudah tak tahan, bergegas ke toilet dan meninggalkan tugas Rani diatas meja.

            Sesampainya di kelas, murid – murid sedang menenangkan Rani yang sedang menangis. Saat aku tanya, tangisnya justru semakin kencang. Seketika Aurel mendorong ku dan berkata bahwa aku yang menyebabkan semua ini. Laporan Rani hilang karenaku meninggalkannya. Aku terkejut, sungguh aku tidak sengaja, aku sudah meminta maaf dan menjelaskan yang sebenarnya namun mereka tidak percaya. Seisi kelas memandangku dengan tatapan sinis dan curiga. Aku sangat merasa bersalah, aku pun tak mengerti mengapa tidak ada yang mempercayaiku bahkan sehabatku sendiri. Mulai detik ini, persahabatanku hancur. Aku, Rini dan lainnya diam seribu bahasa.
           
Bel pulang berbunyi pukul 13:00 ,  mereka pulang tanpa melirikku sedikitpun, mereka pulang bersama tanpa aku. Sesampainya di rumah, aku langsung ke kamar dengan muka murung yang kusut. Aku menangis menatap mendugnya langit, kenapa semua ini terjadi di hari istimewaku. Sungguh diluar ekspektasiku. Hp-ku berdering kencang, aku tak peduli siapa yang menelpon, ku tak mau mengangkatnya. Hp berdering lagi pertanda panggilan kedua, tercantum nomor tak dikenal. Dengan berat hati aku mengangkatnya, mungkin penting. Terdengar suara lelaki setengah baya yang mengatakan bahwa Rani diculik olehnya, dalam waktu 1 jam jika aku tidak bisa menemukannya, maka Rani akan mati ditangannya. Ku tersentak dan menyeka air mataku. Dia sahabatku dan aku harus menyelamatkannya, aku bergegas ke sebuah gedung tua tempat Rani disekap.

Gedung yang terdiri 8 lantai ini tak terawat. Aku ragu untuk masuk ke dalamnya, aku takut, suasananya gelap dan mencekam. Namun demi Rani, aku akan melakukan apapun untuknya. Keadaan di dalam gedung sangat kotor, cat dinding yang terkelupas, sarang laba – laba dan daun kering yang berserakan, suasana sunyi tak bernyawa. Terlihat tanda panah untuk menaiki tangga menuju ke lantai dua, aku melihat sekeliling dengan senter dan perasaan gelisah. Di lantai dua terdapat banyak kamar, mungkin kantor atau losmen dulunya. Aku menuju ke salah satu kamar, terletak cermin besar yang telah retak dan bertuliskan “kamar dengan lukisan naga diatas pintunya!”. aku menyenter sekeliling ruangan, tak ada pintu dengan lukisan naga diatasnya, aku terus mencari. Ternyata aku sudah mebuang waktu 10 menit tapi aku belum mendapat petunjuk apapun.

Akhirnya aku menemukan pintu itu sambil melompat kegirangan, di dinding tertuliskan bahwa aku harus mencari kotak hitam. Ku pikir aku sudah bisa menemukan Rani ternyata tidak. Beberapa menit aku menggeledah ruangan, terlihat kotak di bawah tempat tidur, didalamnya terdapat secarik kertas bertuliskan “pergi ke lantai lima, waktumu hanya 45 menit”. Aku panik, 45 menit bukanlah waktu yang lama, ku bergegas menaiki tangga yang licin itu.  Di sela – sela anak tangga yang tertutup rimbunnya daun kering bertuliskan “masuk ke kamar yang memiliki pintu paling rusak lalu lihat ke bawah karpet” aku bingung, semua pintu di lantai ini rusak parah. Mataku terpaku ke sudut ruangan dengan pintu yang tergeletak di lantai, segera ku tengok ke bawah karpet, keluarlah beberapa kecoak. Aku menjerit ketakutan dan berlari ke luar kamar. Setelah keadaannya tenang, aku masuk dan melihat kesana lagi, tercetak tulisan spidol merah yang menyatakan aku harus mengambil kunci yang tergantung di lantai tiga dan kembali kesini.

Aku sudah berada di lantai lima dan harus kembali ke lantai tiga sedangkan nafasku sudah terengah – engah. Rasanya aku ingin menyerah, aku sudah tidak kuat dan aku tidak bisa untuk melawan rasa takutku. Aku teringat Rani, ia sedang membutuhkanku, ia lebih tersiksa daripada aku. Dengan sisa tenaga aku menuruni tangga dan mencari kunci itu, aku sudah mengecek semua pintu, bagian depan dan belakang pintu tak ada kunci. Aku pasrah duduk bersandar di meja di pojok ruang. Dengan mata buram aku melihat kunci yang tergantu di subuah paku berkarat di bagian atas dinding. Ku coba meraihnya namun tak sampai. Aku menggeret bangku dan menggenggam kunci itu erat – erat.

Saat aku ingin menaiki tangga, terlihat tulisan bahwa aku harus ke lantai enam. Berarti aku haru melewati dua lantai dengan tangga yang panjang dan tinggi.  Aku menyeka keringat dengan baju, entah sudah seberapa kotor pakaianku. Di lantai enam, ruangan yang sangat luas tanpa kamar atau pintu lain. Hanya ada beberapa meja dan kursi, mungkin ini sebagai ruang pertemuan dulunya. Tanganku menyentuh meja yang penuh debu, ternyata ada sebuah petunjuk. Si penculik menulis bahwa aku harus menemukan sapu tangan untuk menyeka air mataku. Apa maksud dari semua ini, aku sedang tidak menangis saat ini. Oh tidak, Rani sedang dalam bahaya, aku harus segera menyelamatkannya. Ku geledah semua kolong meja dan aku menemukan sapu tangan yang tertutup beberapa kertas dan buku. Sungguh permainan yang gila! Di sapu tangan tertulis “lihat keatas”. Di langit – langit dinding tertulis waktumu hanya 15 menit lagi. aku tersadar banyak waktu yang terbuang.

Tanpa pikir panjang aku bergegas ke lantai tujuh, di sepanjang lantai aku menemukan barang – barang milik Rani seperti jam tangan, gelang, kunciran hingga bercak sepatu dan tetesan – tetesan darah. Seketika aku menangis karena takut dan panik, aku tidak ingin Rani celaka. Aku terus menagis sambil menaiki tangga menuju lantai delapan. Aku menggeledah seisi ruang, sudah kucari ke semua sudut ruangan. Ini lantai terakhir namun tak ada satupun petunjuk yang ku temui. Aku sudah terlunglai di lantai, sia – sia yang kulakukan, berbagai pikiran negatif telah memenuhi kepalaku.

Tiba – tiba aku mendengar suara teriakan, tapi aku tak tahu asal suara itu. Itu seperti suara Rani. Semangatku berkobar kembali, aku berlari- lari di lantai itu untuk mencari petunjuk dan akhirnya ku temukan sebuah tangga sepetak yang sepertinya menuju ke bagian atap gedung.  Dengan pelan ku melangkah, terasa angin kencang menusuk tubuhku. Disana aku melihat Rani sedang duduk diikat dengan mulut tertutup diatas bangku. Aku juga melihat si penculik berpakaian serba hitam. Wajah Rani sangat ketakutan dan tiba – tiba penculik memukul leher Rani dengan tongkat bambu. Rani langsung jatuh tak berdaya bersama dengan bangkunya. Aku teriak memanggil namanya, kupeluk dia dengan erat, aku tak mau kehilangannya. Air mataku mengalir deras, aku tak sanggup melihatnya, aku sayang padanya. Dia adalah sahabat terbaikku.

Seketika lampu menyala dan terdengan nyanyian ulang tahun dari arah belakangku. Aku menoleh, tak kusangka semua sahabatku ada disana. Sahabat yang sejak pagi marah dan mencaci aku. Mereka membwa kue dengan lilin angka 16. Rani terbangun dan bersalaman dengan si penculik, aku tersentak kaget. Ternyata semua ini adalah kejutan yang sengaja dibuat untuk merayakan hari istimewaku. Kini di depanku terlihat kawat yang disusun rapi dengan tulisan selamat ulang tahun Dini. Aku terharu, ku tak marah kepada mereka karena sudah mengerjaiku. Aku justru berterima kasih, ini adalah kado teristimewa di hari istimewaku. Kalian memang sahabat terbaikku.


            Aku bangga memiliki kalian, bisa menciptakan rencana gila seperti ini. Kalian tahu tidak, aku seperti di dalam permainan ular tangga yang harus menaiki dan menuruni berbagai anak tangga dengan nafas yang tersendat – sendat. Tapi aku tetap berjuang demi Rani sahabat kita. Mereka justru tertawa dan puas melihat ekspresi ku yang kecapekan, mereka menjelaskan bahwa semuanya adalah rekayasa. Laporan Rani sebenarnya tidak hilang, justru Rani sudah mengumpulkannya saat Dini ke toliet, semua hanya akting. Satu – satunya lantai yang ku lewati adalah lantai empat karena disanalah sahabatku menyiapkan segalanya, mulai dari alat dan bahan, kostum, hingga teka teki. Aku percaya, kejadian ini membuat persahabatan kita akan semakin erat. Kami berpelukan di bawah senjanya langit tertutup indahnya mentari terbenam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar