Penyesalan Berburuk Sangka
Dugg... bunyi pintu kamarku yang kututup dengan membantingnya yang pasti
dengan sangat keras. “Aauuhh...kenapa gak bisa ngerti aku sedikit sih” teriakku
sebal yang diakhiri dengan membaringkan tubuh ke ranjang tempat tidurku dan
segera menutup wajah ku dengan bantal. Tak terasa mataku sudah mengeluarkan air
mata di sudut-sudut kelopak mataku yang bertanda bahwa aku sudah tidak dapat
menahan kesedihan ku. Yah.. aku menangis, karena tidak ada yang mengerti aku
dan menangis atas nasib ini.
Pagi menjelang, sinar-sinar matahari memancarkan sinarnya dari celah-celah
jendela. Aku bangun dengan lemah dari ranjangku dan segera mengambil handuk
untuk segera mandi. Berjalan di cermin ukuran besar yang ada dalam kamar.
Disana aku bisa melihat dengan jelas mata sembab yang menggambarkan sejuta
kesedihan dan kekecewaan. Melihat sosok dicermin itu aku hanya bisa tersenyum
pahit, ternyata ini bukan mimpi melainkan kenyataan yang harus aku hadapi.
Setelah melihat diriku yang tak berguna ini, segera aku melanjutkan langkah menuju
kamar mandi yang terdapat dalam kamarku.
“Selesai...” gumam ku setelah merapikan dasi sebagai sentuhan terakhir dan
siap untuk berangkat kesekolah, berangkat ke SMA DHARMA BAKTI. Tanpa berkata
apapun ataupun menyapa kedua orangtuaku, aku langsung menyambar kunci motor di
gantungan ruang tengah rumah dan segera melajukan motorku dengan sangat-sangat
cepat tanpa sarapan dan pamit dulu pada dua orang yang selalu aku hormati,
sayangi tapi kini mereka membuat aku kecewa dan sangat kecewa.
Dalam perjalanan aku teringat pada kejadian malam tadi, malam tersuram
dalam hidupku. Ingin aku melarikan diri,melarikan diri dari dunia ini dan
melarikan diri dari semua kenyataan hidup ini tapi tetap saja aku tak bisa. Aku
tidak memiliki tempat tujuan lain yang pantas untuk menampung anak putus asa
seperti ku. Tetes demi tetes air bening ini mengalir dari mata sayupku hingga
tak terasa aku sudah berada didepan gerbang sekolah.
Segera aku masuk dan berjalan lemah menuju kelas. Setelah sampai aku segera
menyimpan tas dan merebahkan diri dibangku tempat duduk dan menelungkupkan
wajahku di atas meja. Heran!! Itulah yang mungkin teman sebelah ku rasakan
melihat tingkahku itu.
“Anggi, Kamu kenapa? Kamu gak apa-apa kan!”
“ Tidak apa-apa” jawab ku singkat
“Benar, kamu gak apa-apa”
“Iya” jawab ku dengan menampakan wajah tersenyum pada sahabatku yang
cerewet itu. Aku yakin jika tidak begitu ia akan selalu bertanya karena kawatir
pada ku.
“Apa kamu habis menangis?”
“Biasa..ayah, ibuku itu”
“Oh...sabar ya” ujar Rani sahabatku
sambil menepuk-menepuk pundaku memberi dukungan.
Dan aku hanya menanggapinya dengan senyuman. Begitulah sahabat ku
itu, ia tahu semua masalah-masalah yang aku hadapi selama ini karena aku
memberitahukanya. Rani adalah orang yang sangat penting bagiku. Ia sangat
mengerti tentang perasaan ku melebihi kedua orang tuaku khususnya ibu.
Selama pelajaran berlangsung aku sama sekali tidak fokus dengan apa yang dijelaskan
oleh guru terlebih pelajaran sekarang adalah matematika yang memang pada
dasarnya sungguh membuat ku gila. Pikiranku malah ada ditempat dan dalam memori
yang membuat ku lebih terpuruk lagi. Terngiang-ngiang dengan apa yang dikatakan
kedua orangtuaku. “ Nggi, kami harus melakukan ini, maaf membuatmu terluka”
ujar ayah sedikit memohon. “Iya..Anggi kamu harus mengerti dengan keadaan ini,
ibu mohon”. Tidak..tidak..teriakku sebagai jawaban atas apa yang mereka katakan
malam itu.
Huhhh hembusan nafasku dengan kasar mengingat itu. “Anggi kamu harus kuat,
tidak ada yang harus ditangisi” lirihku menguatkan diri sendiri.Rani yang ada
disebelahku hanya bisa menatap nanar kearahku. Yah... dia cukup tahu
permasalahan yang aku hadapi.
Kini aku berdiri didepan pintu rumahku, hanya menatap pintu itu dengan
penuh keraguan. Apa aku harus langsung pulang setelah jam sekolah usai. Aku pun
dengan ragu memutar kenop pintu dan segera masuk ke dalam rumah. Deg...suara
teriakan itu terdengar lagi. Kata-kata makian apa pantas dikeluarkan dari
mulut seorang yang terpelajar, dan tidak dapat menahan egonya untuk sekedar
menjernihkan keadaan. Dulu aku cukup bangga menjadi seorang anak mereka, tapi
kini keadaan telah berubah. Banyak hal yang membuatku sedih,kecewa dan bahkan
membuat stres. Ingin aku lari dari kenyataan hidup ini tapi apa daya aku hanya
seorang gadis 16 tahun yang lemah.
Segera ku langkahkan kaki menuju kamarku tapi aku berhenti didepan sebuah
kamar yang berada tepat disebelah kamarku. Disana,dipintu kamar itu tergantung
manis papan nama bertulis “ bedroom Diva, jangan masuk tanpa seizinku” lengkap
dengan foto pose lucunya. Melihat hal itu aku tersenyum. “kakak aku merindukan
mu”lirihku. “Jika kakak disini maka ibu dan ayah tidak akan melakukan ini.”
Sekarang aku duduk dengan tenang di ruang keluarga rumah ini hanya bisa
menunduk lesu sekarang aku yakin kedua orangtuaku sedang menatapku endah
tatapan apa itu, kasiankah, sediahkan atau kecewa.
“
Anggi, keputusan ayah dan ibu sudah bulat, jadi..”
“Iya Anggi,jika kamu tetap tidak menyetujuinya maka itu sia-sia
karena tidak ada lagi yang dapat dipertahankan dari semua ini” sambung ayah.
Mendengar
hal itu hatiku makin sakit, benar mungkin tidak ada harapan lagi. “Baik aku
menyetujuinya, maka cepatlah bercerai” lirihku pelan dengan isakan tangis
berat.
“Bukankah kalian memang selalu tidak peduli padaku, yang kalian
pedulikan selalu kak Diva. Tapi apa bisa kalian memikirkan ku sekali saja tanpa
adanya kakak, kakak sudah meninggal 1 tahun yang lalu itu waktu yang lama untuk
kalian bisa melupakannya dan memikirkan anak kalian yang satu ini, anak yang
masih hidup. Sepertinya harapan itu akan selalu sia-sia” jelasku panjang lebar
dengan air mata yang terus mengalir.
“ Ayah, ibu...”
“ Bercerai lah cepat mungkin itu dapat menghidupkan kembali kak Diva
lagi” teriakku sambil berlari menuju kamar. Aku sekarang yakin ayah dan ibu
kaget dengan apa yang aku katakan tadi dan
juga karena teriakan ku, ya itu adalah teriakan pertamaku kepada mereka berdua
sejak aku dilahirkan.itu karena aku sudah tak tahan lagi, mengapa mereka tidak bisa
merelakan kepergian kak Diva, apa kak Diva harus selalu menjadi anak kesayangan
mereka.
Sejak kecil memang kak Diva yang selalu menjadi prioritas pertama mereka.
Mereka selalu memberi perhatian lebih padanya sedangkan aku mungkin hanya
sekedar pengisi anak bungsu. Orang-orang selalu berpikir anak bungsu itu sangat
diistimewakan dan selalu dimanja tapi kenyataannya selalu jauh dari semua itu.
Aku merasakannya sendiri selama hidupku, aku selalu dibanding-bandingkan dengan
kakak ku, mereka selalu berkata kakak adalah orang yang baik,rajin, dan tidak
ada yang salah dari nya, sedangkan aku selalu menjadi yang terburuk, termalas
dan perbuatanku selalu salah dimata mereka. Meski kini kakak sudah tiada mereka
masih saja selalu mengunggulkannya.
Aku teringat saat itu, mereka lebih membelanya sedangkan aku selalu
disalahakan. “Anggi, kamu ini kenapa sih selalu saja mencari gara-gara” bentak
ibu waktu itu.
“ Tidak bu, kak Diva yang duluan”
“Anggi, kamu itu yang salah jadi cepat minta maaf sama kakak mu”
“Ayah.. kakak yang salah”
“Enak aja, bukan Diva yah, bu. Anggi tuh yang salah. Dia mencuri uang
Diva”
“Aku tidak pernah mencuri uang itu karena memang uang itu uang Anggi
sendiri . Anggi menyisihkan uang jajan untuk mengumpulkan uang itu” bantahku
atas tuduhan kakak ku sendiri.
“ Anggi jangan banyak alasan cepat kembalikan uang itu” suruh ibu
marah.
“ Iya Anggi, kenapa sih kamu itu selalu saja menjadi anak pembuat
masalah”
“ Tapi....” dengan sangat terpaksa aku memberikan uang itu kepada
kakak padahal uang itu akan aku gunakan untuk membeli kamera. Ya..
aku memiliki yaitu fotografi. Memotret hal-hal yang indah tapi semua itu harus
diurungkan lagi karena uang yang susah payah aku tabung sekarang ludes dalam
waktu singkat. Aku hanya bisa pasrah, malas membantah lebih jauh lagi karena
percuma saja jika aku makin melawan maka makin gencarlah mereka memarahiku.
Begitu lah waktu itu dan bukan hanya itu masih banyak hal lain yang cukup
membuatku sakit hati. Tapi aku bisa apa aku hanya bisa bersabar dan bersabar.
Dan aku selalu bertanya apa dimata kedua orang tuaku benar-benar tidak ada hal yang baik tentang aku.
Keluarga ini begitu harmonis awalnya mungkin bagi ayah,ibu dan kakak saja
tapi melihat mereka bahagia aku juga turut bahagia. Sebelum musibah yang
menimpa kakak ku. Sebuah kecelakana mobil merenggut nyawa kakak dalam sekejap.
Sore itu kak Diva meminta izin untuk menggunakan mobil. Ia mau mengerjakan
tugas kelompok yang diberikan dosennya. Ayah dan ibu sempat tidak
mengijinkan kakak menggunakan mobil karena memang kakak baru
mendpatkan SIM kurang dari sebulan ini tapi setelah bujuk rayu yang dilakukan
kakak mereka akhirnya mengijinkan.
Hingga malam tiba kira-kira sekitar pukul sembilan malam kami mendapat
telepon dari seorang entah dari siapa tapi aku bisa menebaknya mungkin dari
seorang polisi yang mengatakan bahwa kakak mengalami kecelakan dan sekarang dia
dilarikan ke rumah sakit. Tentu saja kabar itu mengejutkan kami sekeluarga dan
kami langsung pergi kerumah sakit yang dimaksud. Sungguh takdir berkata lain
kakak meninggal saat perjalanan ke rumah sakit.
Sejak saat itulah ayah dan ibu selalu menyalahkan satu sama lain.
Mengatakan coba saja mereka tidak mengijinkan kak Diva menggunakan mobil
kecelakan itu tidak akan pernah
terjadi. Hari demi hari berlalu dan selalu saja pertengkaran demi
pertengkaran yang aku dengar. Masalah-masalah kecil dibesar-besarkan dan mereka
berdua tidak pernah ingin menghilangkan keegoisan mereka barang sekejap untuk
merenungkan siapa yang salah dalam hal ini atau mungkinkah ini memang takdir,
jalan hidup kakak untuk tenang disurga sana. Ayah,ibu sama sekali tidak
menyadari setiap pertengkaran yang mereka lakukan pasti menyakiti hati kakak.
Ia tidak akan meninggal dengan tenang karena masih ada untang yang harus ia
selesaikan di dunia ini yaitu mendamaikan dua orang yang ia cintai itu.
Pertengkaran itu memuncak saat tiba-tiba saja ayah dan ibu mengatakan
padaku bahwa rumah tangga ini tidak dapat di pertahankan lagi dalam kata lain
mereka akan “BERCERAI”. Aku hanya dapat menangis tidak tahu berbuat apa. Siapa
yang bersama ku nanti, Ayah!, Ibu! Entahlah yang jelas sekarang hati ku kacau
ah.. sepertinya bukan sekedar kacau tapi hancur. Yang jelas aku sudah
mencurahkan isi hatiku tinggal sekarang mereka sendiri yang menentukan apakah
tetap bercerai atau tidak.
*****
Tiga bulan kemudian
Kini semuanya hilang, hilang terbawa ombak yang ada didepanku ini sungguh
hal itu membuatku hidup lagi. Tidak ada lagi pertengkaran yang selalu
terdengar yang membuat hatiku damai seperti deru lembut ombak
laut yang
terlihat biru dengan hari yang cerah ini. Hari yang begitu cerah seperti
hatiku.
“Anggi, jangan jauh-jauh nanti tenggelam”
“Iya, hati-hati nanti ombaknya membawa mu ketengah”
“Tenang saja yah,bu aku adalah perenang yang hebat”
Mendengar apa yang aku katakan itu ayah dan ibu hanya bisa tertawa kecil
karena anak mereka kini sering menyombongkan diri. Yup! Kini kami sedang
berlibur dan sekarang kami berada di pantai indah seindah kehamonisan
keluargaku. Terlihat disana ayah dan ibu bercengkraman dengan sangat bahagia
diatas pasir putih yang luas seakan hanya mereka berdua disana. Aku yang
memainkan ombak laut ini hanya bisa tersenyum dengan pemandangan itu.
Ayah dan ibu memang tidak jadi bercerai. Mereka menyadari kesalahan mereka
dan bukannya bermaksud untuk mengabaikan ku hanya saja mereka terlalu terluka
akan jalannya hidup ini. juga bukannya mereka tidak menyayangiku seperti
dugaanku setiap waktu hanya saja mereka telah terbiasa memberi perhatian lebih
pada kakak karena memang kak Diva dari kecil sering sakit-sakitan seperti tifus,malaria
dan amandel sudah menghinggapinya dari kecil sedangkan aku selalu saja sehat.
Dulu aku tidak menyadari itu
malah aku mementingkan keegoisan ku sendiri dengan meminta perhatian lebih
padahal kakak lah yang perlu perhatian lebih. Tapi anehnya dengan perhatian
besar itu kakak selalu tak nyaman dan merasa terlalu di intimidasi sedangkan
aku memimpikan itu.
Aku ingat saat ayah dan ibu meminta maaf padaku. Meminta maaf atas
keegoisan mereka dan untuk mempersatukan keluarga kecil ini lagi.
“Anggi, maaf kan ibu ya nak”
“Ayah juga minta maaf, karena kesedihan kami dengan hilangnya kakakmu Diva
membuat kami mengabaikan fakta bahwa kami tidak kehilangan segalanya melainkan
masih ada maleikat seperti mu yang diberikan Tuhan pada kami”
Mendengar itu aku hanya bisa menangis tidak menyangka dengan apa yang
mereka katakan. Tuhan maafkan karena aku pernah merasa tidak
mempunyai orang tua yang cukup baik untuk ku dan aku yakin dengan mengambil kak
Diva dari sisi kami Engkau telah memiliki rencana yang indah bagi keluarga ku.
Sekarang aku bisa mengangkat wajah dan berkata mereka adalah orang tuaku, orang
tua terbaik yang pernah ada didunia yang ini tentu saja hanya untuk ku, hanya
untuk Diva Mawarni Sandrita.
****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar