Selasa, 25 Oktober 2016

Karya Denny A.

Waktu Yang Singkat

          Aku kebingungan mencari tempat berteduh. Aku pun melepas jaketku dan kugunakan sebagai payung. Pandanganku terhenti pada halte bus disana. Aku pun lantas menghampirinya untuk sekedar beristirahat.

“Huh, kenapa harus hujan sih?” Gerutuku. Aku menoleh ke kanan. Lelaki yang sibuk dengan ponselnya.

“Mas, hati hati. Kalo hujan jangan mainin ponsel.” Tegurku. Lelaki itu kaget, menoleh, dan langsung memasukkan ponselnya ke dalam saku. Ia berjalan mendekatiku.

“Hai, namamu siapa?” Tanyanya. Aku merasa gugup.

“Nazwa Lidya Salsabila. Panggil aja aku Nazwa.” Jawabku. Dia mengulurkan tangannya.

“Namaku Muhammad Zaki Al Malik. Panggil saja aku Zaki. Oh ya, kamu kedinginan?” Tanyanya lagi. Aku mengangguk gemetar. Memang, aku habis kehujanan tadi. Tiba tiba, dia menaruh jaketnya kepundakku. Aku kaget.

“Kamu pakai dulu saja.” Ucapnya. Tak lama kemudian, bus datang. Ia pun segera menaikinya.

“Aku belum sempat minta nomor telponnya.” Gumamku.

          Hujan agak mereda. Aku lantas pulang ke rumah dengan menaiki taksi. Aku melambaikan tangan, taksi pun berhenti. Aku mengatakan tujuanku. Sopir pun mengantarku ke rumah.

Mama nampak khawatir melihatku begitu pucat dan menggigil kedinginan.

“Nazwa, kamu kok maksa pulang sih? Mama tadikan udah nawari kamu buat dianter pake mobil.” Tutur mama. Entah mengapa, tiba tiba semua berubah gelap.

          Saat aku bangun, aku sudah berada di kamar dan hari sudah pagi. Lelaki kemarin nampak duduk di tepi ranjang.

“Lho? Kamu Zaki? Tau alamatku dari siapa?” Tanyaku. Zaki menoleh.

“Kamu menjatuhkan ini saat mau pulang. Aku ikuti alamatnya. Dan kebetulan, tidak jauh dari rumahku.” Jawab Zaki sambil menyodorkan kartu pelajarku.

“Ah, makasih, Zaki. Untung tidak hilang. Kamu sekolah dimana?” Tanyaku.

“Di SMA NUSANTARA. Kelas 11 IPA. Kamu?”

“Sama! Kita sekelas juga!” Seruku. Zaki tersenyum. Tiba tiba, aku menyadari, Zaki memakai seragam sekolah.

“Aku mandi dulu!” Aku melompat dari ranjang dan menyambar handuk yang ada di kursi.

“Tunggu di luar yah, Zaki.” Ucapku sambil mendorong Zaki ke luar dari kamarku.

          Aku tergesa gesa menuruni tangga. Tiba tiba, BRUK! Aku jatuh terpeleset. Orang orang yang ada di dapur kaget, termasuk Zaki. Mereka menghampiriku.

“Nazwa! Nazwa, bangun!” Teriak Zaki. Aku tak mendengar apa apa. Semua begitu gelap. Yang kurasakan hanya badanku sangat sakit. Zaki lantas membawaku ke Rumah Sakit Diponegoro (RSD). Tak tahu berapa lama aku pingsan. Yang kuingat, hanya benturan keras itu. Saat aku bangun, Zaki nampak menungguiku.“Za-ki?” Tanyaku dengan suara bergetar. Zaki mendongak dan langsung memelukku.

“Kukira, aku akan kehilangan kamu, Nazwa. Tolong jangan begini lagi. Aku takut kehilangan kamu.” Ucap Zaki. Aku tak mengerti semua ini.

“Memangnya, aku kenapa?” Tanyaku.

“Kamu seharian nggak sadar. Aku rela bolos sekolah karena takut kamu kenapa napa. Nazwa, kamu tadi membuatku benar benar panik.” Jelas Zaki. Aku mulai mengerti. Lelaki ini suka padaku. Toh, buktinya, dia mengkhawatirkanku.

“Aku baik baik saja, Zak. Buktinya, aku tak terluka.” Ujarku. Zaki mengerutkan keningnya.

“Tak terluka? Kamu saja pingsan tadi.” Sela Zaki. Aku terbahak mendengar ucapannya.

“Aku merasa sehat kok! Ayo pulang!” Ajakku sambil turun.

“Emangnya, dokter sudah mengizinkanmu?” Tanya Zaki dengan wajah datar. Alamak, juteknya nih anak.

“Alah, biarin. Aku mau pulang.” Paksaku sambil menarik tangan Zaki.

“Dia boleh pulang kok, Zaki.” Suara itu mengejutkanku. Jantungku hampir copot dibuatnya.

“Nah kan, apa kubilang?” Tanyaku seraya tersenyum mengejek. Zaki mendengus kesal sambil mengantarku pulang ke rumah.Kulihat, mama dan papa nampak kaget melihatku. Tiba tiba, keduanya memelukku.

“Nazwa! Lain kali hati hati! Kamu membuat papa sama mama panik tau!” Tegur papa. Aku hanya tersenyum mendengarnya.

“Nazwa baik baik aja kok, pa, ma. Zaki kan udah nyelamatin Nazwa.” Balasku.

“Oh ya, Zaki, kamu menginap disini saja ya? Sudah malam, nggak baik ke luar malam malam begini. Apalagi, kamu sendirian. Kamu bisa pakai kamar Kak Haris, kakaknya Nazwa yang kebetulan sekali hari ini ada kemah. Bagaimana?” Tawar papa. Zaki mengangguk pelan. Sekilas kulihat, wajah Zaki nampak sangat pucat. Aku ingin bertanya, tapi keduluan mama.

“Kamu sakit, Zaki? Kok pucat gitu?” Tanya mama. Zaki menggelengkan kepalanya.

“Nggak kok, te. Saya cuma kecapekan aja kok.” Jawab Zaki. Kukira, itu hanya kecapekan biasa. Aku pun mengantarkan Zaki ke kamar kak Haris.

“Kalo ada apa apa, kamu tinggal panggil aku.” Ujarku. Zaki tersenyum. Aku bisa merasakan, itu senyuman terakhir dari Zaki. Firasatku buruk.

Aku pun ikut tidur.

          Esok paginya, aku bangun pukul 5 pagi. Segera saja kubangunkan Zaki.

“Zaki! Ayo bangun! Bangun! Dasar cowok!” Aku menarik selimutnya. Zaki tak merespon.

“Zak, kamu jangan bercanda, ini nggak lucu!” Tegurku. Badan Zaki sama sekali tak bergerak. Aku mulai panik. Segera saja kubawa Zaki ke RSD. Aku panik bercampur takut. Zaki dibawa ke UGD.30 menit aku menunggu, dokter ke luar dengan wajah sedih.

“Maaf, Nazwa. Zaki punya penyakit Kanker darah. Saya tidak bisa menolongnya. Kanker itu telah menggerogoti otaknya.” Ucap dokter.

          Aku kaget mendengarnya. Aku tak percaya jika Zaki akan meninggalkanku secepat ini. Padahal, kemarin kami masih bertemu. Aku masih merasakan pelukan hangatnya. Aku ingin melihatnya lagi. Ya Allah, tolong kembalikan waktuku bersama Zaki lagi. Kenapa Zaki tak pernah bercerita jika punya penyakit kanker darah?

         Tak terasa, air mataku menggenang. Aku tak bisa lagi membendungnya. Pertama kali ini aku menangis histeris.“Zaki, semoga kamu tenang disana.” Ucapku. Kak Haris menghampiriku. Memelukku dengan erat sambil mengelus rambutku.

“Kenapa Tuhan mengambil Zaki, kak?” Tanyaku.

“Nazwa, kita tak tahu kapan kita mati, kapan ajal menjemput. Bisa hari ini, besok, 
ataupun lusa. Perbanyaklah amal ibadah dan sedekah. Kelak kita meninggal dalam keadaan baik. Kakak tahu, kamu nggak bisa menerima ini semua. Tapi, ikhlaskanlah.” Tutur Kak Haris. Aku mengangguk gemetar dalam pelukannya.

        Selamat tinggal, Zaki. Kebaikanmu terekam jelas oleh sel abu abuku. Semoga kamu tenang disana.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar