Selasa, 01 November 2016

Karya Fathiyah

Secerah Mentari

            Aku menunggu Syifa di depan rumahnya untuk berangkat  sekolah bersama, dia adalah sahabatku sejak SD sampai sekarang SMA yang masih tetap satu sekolah. Aku Sabita, seorang remaja biasa dengan rambut lurus yang panjangnya sepunggung, rambutku biasa aku kuncir kuda, sedangkan Syifa sahabatku biasa berangkat ke sekolah dengan rambut pendek digerai dipercantik oleh bandonya yang selalu dia ganti setiap hari karena koleksi bandonya yang banyak.

            Kami berjalan ke sekolah bersama dan pulang sekolah pun bersama, kami teman sebangku yang sering dijuluki teman-teman seperti amplop dan perangko yang tidak akan lengkap tanpa salah satunya. Tetapi, biar bagaimanapun pilihan kami ada saja yang berbeda, salah satunya dalam memilih ekstrakulikuler, aku lebih memilih paskibra sedangkan Syifa memilih rohis, aku sama sekali tidak mengerti kenapa Syifa memilih ekstrakulikuler itu bukannya melanjutkan paskibra yang telah kami ikuti sejak SMP. Awalnya aku tidak setuju Syifa memilih rohis, pelajaran agama itu sudah ada di pelajaran sekolah. Itulah kenapa aku memilih ekstrakulikuler paskibra, tidak memilih yang berhubungan dengan pelajaran sekolah. Awalnya aku bersikeras agar Syifa ikut ekstrakulikuler paskibra bersamaku, tetapi sekarang aku menyerah membujuknya dan mulai terbiasa kalau pilihan ekstrakuler kami berbeda.

Lima bulan sudah aku duduk dibangku SMA. Bahagia sekali rasanya jika berangkat sekolah di pagi hari dengan cerahnya sinar mentari seperti semangatku berangkat ke sekolah, tak lupa pula disambut juga oleh burung-burung berkicauan seperti hati ini yang sedang menyanyi bahagia. Entah bagaimana, tiba-tiba kebahagiaanku lenyap,  aku dikejutkan oleh sosok Syifa yang berbeda dengan jilbabnya yang terlihat asing dimataku. Aku seperti tidak mengenalnya dan aku langsung berlari menuju sekolah tanpa memperdulikan Syifa yang meneriaki namaku, tetapi akhirnya aku terkejar oleh Syifa dengan lari cepatnya. Aku pun memalingkan mukaku dan tidak menghiraukan Syifa sedikitpun ketika dia terus berbicara panjang lebar.

Dahulu aku dan Syifa sama-sama tidak suka dengan orang yang berjilbab karena terlihat kuno, dan kini aku kecewaa karena Syifa dengan mudahnya melupakan semua itu. Syifa mencoba menjelaskan kenapa dia bisa memakai jilbab dan juga menjelaskan bahwa saat SMP  kelakuan kami yang sering mengejek teman kami yang berjilbab itu salah. Dia menjelaskan juga sebagai muslim yang baik itu harus berjilbab. Aku hanya mengacuhkan semua yang Syifa katakan, begitu juga di kelas dan dimanapun, aku kesal sekarang Syifa yang sekarang   menjadi sok suci dan suka menceramahi aku. Selain itu, berkali-kali Syifa berusaha supaya aku memaafkannya, mulai dari menjemput ke rumahku sampai menungguku sepulang sekolah tetapi hal itu hanya berlangsung beberapa hari, mungkin dia mulai kesal padaku yang sekarang selalu mengacuhkannya.
 

Aku sekarang tidak terlalu dekat dengan Syifa, walaupun kita sebangku tetapi aku selalu berusaha cuek kepadanya. Aku lebih sering bergabung dengan Nara, Santi, dan Rani yang tidak dekat dengan Syifa. Pulang sekolah aku berkumpul lagi dengan Nara, Santi, dan Rani sempat terlintas Syifa dipikiranku, tetapi sudahlah mungkin dia sudah pulang dan aku tidak akan memperdulikan lagi, aku memang berusaha tidak memperdulikannya belakangan ini, tetapi sulit sekali ternyata melupakan Syifa yang sudah lama menjadi sahabatku. Ketika aku berada di tempat yang ramai entah kenapa aku lebih memikirkan Syifa.

Kami menghabiskan waktu di kedai kecil depan sekolah, bukan hanya Nara, Santi, dan Rani saja, ada pula anak-anak laki-laki dari sekolah mereka yang ikut nongkrong di kedai itu. Saat aku sedang asyik menikmati kopi dingin tiba-tiba ada seseorang yang memegang pundakku, saat aku menengok ternyata dia hanya Roni teman sekelasku, aku tersenyum kepadanya dan menikmati minumanku kembali. Beberapa lama kemudian aku merasa ada yang membelai rambutku, jujur aku merasa terganggu dan aku menepis tangan seseorang yang membelai rambutku itu dan aku tidak mengenal orang tersebut, mungkin kalau dilihat dari tampangnya seperti orang yang berumur tiga puluhan. Aku, Nara, dan yang lainnya baru pulang setelah maghrib dan parahnya ternyata hanya aku yang pulang berjalan, sebenarnya ada dua orang lagi yang pulang berjalan kaki tetapi mereka pulang ke arah yang berlawanan denganku. Sempat aku khawatir dengan perjalanan pulang nanti aku berjalan seorang diri, tetapi aku menghilangkan rasa takutku dan perasaaan lainku  yang campur aduk itu sambil berjalan perlahan menuju ke rumah.

Semilir angin malam yang sejuk membuat rambutku yang sengaja tergerai terkibas cantik oleh angin, untungnya kedai itu letaknya di depan sekolah jadi tidak terlalu jauh untuk menuju ke rumahku. Di perjalanan pulang aku melewati rombongan laki-laki yang masih mengenakan seragam sekolah yang tidak aku kenali, aku tetap berjalan santai, tetapi tiba- tiba mereka menggodaku, ada yang menepuk kepalaku hingga mencolek-colek pipiku, aku ingin marah tetapi aku takut karena rombongan mereka sangat banyak, aku ingin teriak tapi aku takut mereka semakin senang menggodaku, aku merasa diriku tidak berharga karena telah di sentuh seenaknya apalagi oleh orang-orang itu yang sama sekali tidak aku kenali.  Aku langsung berlari secepat yang aku bisa menuju ke rumahku, ingin rasanya aku langsung menuju ke rumah Syifa yang letaknya tidak jauh dari rumahku, tetapi aku kurungkan niat itu.

Keesokan harinya aku masih melanjutkan kebiasaanku yang suka pulang malam, walau kejadian kemarin membuatku kesal tetapi sekarang aku mulai terbiasa dengan itu walaupun belum puas rasanya jika belum bercerita dengan Syifa. Kali ini aku dan teman-temanku mampir di warung steak yang letaknya sedikit lebih jauh dari sekolah. Saat aku sedang asyik menyantap steak tiba-tiba ada dua orang pria yang memakai masker tiba-tiba mereka mengrahkan celurit mereka ke arah kami, kami pun ketakutan dan hanya bisa angkat tangan. Kalung emasku diambil oleh salah satu dari mereka dengan kasarnya dia melepaskan kalung emas kesayanganku itu dari leherku, aku hanya bisa menangis karena aku sangat ketakutan, tetapi beruntung dari kami tidak ada yang terluka. Setelah kedua orang itu sudah pergi, aku dan teman-temanku langsung pulang ke rumah msing-masing, beruntung kali ini ada Rani yang hanya naik motor sendiri dan rumahnya searah denganku.

Sesampainya aku di rumah, aku langsung mandi dan mengenakan piyamaku. Aku keluar menikmati angin malam sambil merenung di balkon kamarku yang hanya di temani oleh cahaya bulan tanpa bintang, rasanya sepi seperti diriku tanpa Syifa. Aku berfikir dengan semua yang Syifa katakan padaku satu persatu ketika aku mengacuhkannya, aku sadar semua orang punya kebebasan masing-masing, tidak akan bisa aku yang hanya seorang sahabatnya mengatur dia semauku. Aku sadar selama ini sedekat apapun aku pada teman-temanku, aku hanya bisa bercerita tentang kesenangan dan kesedihan hidupku kepada Syifa, karena di akhir ceritaku dia selalu memberiku nasihat ataupun saran yang baru aku sadari jika itu sangat berguna. Tekadku sudah bulat, besok aku harus meminta maaf kepada Syifa.

Pagi ini mentari tampaknya sebagian terhalang awan gelap, langkah kecilku berjalan ke arah rumah Syifa. Hatiku tidak tenang memikirkan apa yang nanti akan terjadi, apakah seperti mentari yang bersinar dan tak terhalang awan gelap lagi, atau apakah seperti mentari terhalang awan kemudian hujan, aku terus menerus memikirkannya sejak aku bangun tadi.

Aku membunyikan bel rumah Syifa, lalu menunggu Syifa dengan keadaanku yang tak menentu. Aku langsung memelukya ketika dia keluar dari pagar rumahnya. Aku meminta maaf kepada Syifa dan aku mengakui itu semua terjadi karena kesalahanku, Syifa terlihat sangat senang karena kami sudah bermaafan. Aku langsung bercerita banyak kepada Syifa tentang apa saja yang terjadi selama aku tidak bersamanya, begitu juga dengan Syifa yang juga selalu berbagi ceritanya denganku. Kami bercerita sejak berjalan dari rumah ke sekolah hingga saat di sekolahpun masih saja bercerita. Beberapa hari hanya diam dengan teman sebangku itu rasanya hambar, beruntung manisnya telah kami kembalikan hari ini. Ketika aku menceritakan tentang orang-orang yang menggangguku sampai ada perampok yang mencuri kalungku Syifa terlihat sangat kesal, dia sampai mengepalkan tangannya ketika aku menceritakan tentang hal tersebut. Syifa memberi saran kepadaku untuk memakai jilbab, tetapi aku hanya terdiam termenung, walau sarannya benar juga, andai saat itu aku memakai jilbab pasti tidak akan banyak yang menggangguku dan andai kemarin aku pakai jilbab pasti hingga kini kalung kesayangan dari nenekku pasti masih tetap cantik di leherku, namun hal itu hanya aku pikirkan sesaat dan aku memutuskan untuk melupakan kejadian-kejadian yang lalu.

Aku senang sekali karena mentari bersinar cerah hari ini, seperti memihak padaku karena aku dan Syifa sudah berbaikan. Saking senangnya aku mengajak Syifa ke mall sepulang sekolah. Aku dan Syifa berjalan-jalan ke mall yang letaknya tidak jauh dari sekolah kami, sudah lama sekali rasanya kami tidak pernah berjalan-jalan bersama lagi. Kami memutuskan untuk makan kemudian melihat-lihat baju, entah kenapa aku setuju dan mengikuti Syifa memasuki salah satu toko busana muslim yang letaknya strategis di mall tersebut. Aku tertarik dengan salah satu baju lengan panjang yang ada di sana dan kebetulan baju lengan panjangku memang tidak banyak, sedangkan Syifa membeli rok dan jilbab yang cantik. Sebenarnya aku juga suka dengan jilbab yang Syifa beli, tetapi kupikir lagi kalau aku beli pun tidak akan aku pakai.

Kami mengantri di kasir, di belakang kami tampak seorang anak kecil yang kira-kira berusia delapan tahun dengan wajah ceria dan jilbabnya yang lucu, anak itu digandeng oleh ibunya yang membawa beberapa baju di tangan satunya. Tiba-tiba anak itu melihatku dari atas sampai bawah, entah kenapa aku malu karena tangan dan rambutku masih terlihat, tiba-tiba saja anak itu menarik jilbab yang akan dibeli oleh ibunya dan menarik tanganku agar aku menunduk, tanpa aku sangka anak itu tersenyum sambil memakaikan aku jilbab yang akan dibeli oleh ibu anak itu, kemudian anak itu berbisik kepadaku kalau aku lebih cantik menggunakan jilbab. Ibunya langsung meminta maaf kepadaku atas ulah anaknya itu, aku hanya tersenyum tidak bisa berkata apa-apa, hatiku sangat tersentuh. Syifa yang sejak tadi melihatku terlihat tersenyum.

Setelah kami keluar dari toko tadi, kami memutuskan untuk ke toko buku dan kami membeli beberapa buku. Saat aku dan Syifa akan pulang, kami melewati toko pakaian yang tadi. Entah kenapa tiba-tiba aku meminta pendapat Syifa bila aku menggenakan jilbab, aku merasa malu kepada anak itu dan juga kepada Allah karena tidak mentaati kewajiban-Nya. Akhirnya saat itu juga aku memutuskan untuk kembali lagi ke toko itu dan memilih beberapa jilbab untuk sekolah dibantu oleh Syifa dan juga membeli jilbab yang tadi Syifa beli. Syifa terlihat bahagia dan semangat, padahal dia sudah memberiku saran ketika tadi aku bercerita diganggu laki-laki maka harus dibantu dengan perempuan yang menjaga auratnya, tetapi entah kenapa saat itu hatiku belum tersentuh dan kepolosan anak kecillah yang akhirnya membuatku tersadar.

Hari ini Syifa yang menyampar ke rumahku untuk berangkat ke sekolah bersama, dia terlihat senang dan memelukku ketika aku keluar rumah menggunakan jilbab. Kini aku sadar jika jilbab bukan hanya sekedar kewajiban tetapi juga kebutuhan agar kita selalu terhindar dari hal yang tidak kita inginkan. Di hari pertama aku mengenakan jilbab yang sesungguhnya, hari ini pula aku bergabung di rohis bersama Syifa dan teman-teman rohis lainnya, seperti mentari cerah hari ini yang ikut senang karena aku berjilbab. Aku tersadar seharusnya aku seperti mentari yang silau supaya menundukan pandangan laki-laki, bukan menjadi seperti bulan yang bisa dipandang seenaknya.


Dengan jilbab aku menjadi lebih nyaman, tidak ada lagi yang menggangguku dan aku merasa diriku sangat berharga dan tidak akan ada sembarang orang yang melihat auratku. Jilbabku yang awalnya hanya melindungi aurat, sekarang juga telah melindungi hatiku dari hal-hal jahat dan membuatku belajar lebih banyak untuk taat kepada-Nya. Sekarang aku lebih rajin membaca Al-Qur’an dan buku-buku islam, shalatku tidak bolong-bolong lagi dan mulai tepat waktu, tak lupa juga persahabatanku dengan Syifa yang semakin erat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar