Secerah Mentari
Aku menunggu Syifa di depan rumahnya untuk berangkat sekolah bersama, dia adalah sahabatku sejak
SD sampai sekarang SMA yang masih tetap satu sekolah. Aku Sabita, seorang
remaja biasa dengan rambut lurus yang panjangnya sepunggung, rambutku biasa aku
kuncir kuda, sedangkan Syifa sahabatku biasa berangkat ke sekolah dengan rambut
pendek digerai dipercantik oleh bandonya yang selalu dia ganti setiap hari
karena koleksi bandonya yang banyak.
Kami berjalan ke sekolah bersama dan pulang sekolah pun
bersama, kami teman sebangku yang sering dijuluki teman-teman seperti amplop
dan perangko yang tidak akan lengkap tanpa salah satunya. Tetapi, biar
bagaimanapun pilihan kami ada saja yang berbeda, salah satunya dalam memilih
ekstrakulikuler, aku lebih memilih paskibra sedangkan Syifa memilih rohis, aku
sama sekali tidak mengerti kenapa Syifa memilih ekstrakulikuler itu bukannya
melanjutkan paskibra yang telah kami ikuti sejak SMP. Awalnya aku tidak setuju
Syifa memilih rohis, pelajaran agama itu sudah ada di pelajaran sekolah. Itulah
kenapa aku memilih ekstrakulikuler paskibra, tidak memilih yang berhubungan
dengan pelajaran sekolah. Awalnya aku bersikeras agar Syifa ikut
ekstrakulikuler paskibra bersamaku, tetapi sekarang aku menyerah membujuknya
dan mulai terbiasa kalau pilihan ekstrakuler kami berbeda.
Lima
bulan sudah aku duduk dibangku SMA. Bahagia sekali rasanya jika berangkat
sekolah di pagi hari dengan cerahnya sinar mentari seperti semangatku berangkat
ke sekolah, tak lupa pula disambut juga oleh burung-burung berkicauan seperti
hati ini yang sedang menyanyi bahagia. Entah bagaimana, tiba-tiba kebahagiaanku
lenyap, aku dikejutkan oleh sosok Syifa
yang berbeda dengan jilbabnya yang terlihat asing dimataku. Aku seperti tidak
mengenalnya dan aku langsung berlari menuju sekolah tanpa memperdulikan Syifa
yang meneriaki namaku, tetapi akhirnya aku terkejar oleh Syifa dengan lari
cepatnya. Aku pun memalingkan mukaku dan tidak menghiraukan Syifa sedikitpun
ketika dia terus berbicara panjang lebar.
Dahulu
aku dan Syifa sama-sama tidak suka dengan orang yang berjilbab karena terlihat
kuno, dan kini aku kecewaa karena Syifa dengan mudahnya melupakan semua itu.
Syifa mencoba menjelaskan kenapa dia bisa memakai jilbab dan juga menjelaskan
bahwa saat SMP kelakuan kami yang sering
mengejek teman kami yang berjilbab itu salah. Dia menjelaskan juga sebagai
muslim yang baik itu harus berjilbab. Aku hanya mengacuhkan semua yang Syifa
katakan, begitu juga di kelas dan dimanapun, aku kesal sekarang Syifa yang
sekarang menjadi sok suci dan suka
menceramahi aku. Selain itu, berkali-kali Syifa berusaha supaya aku
memaafkannya, mulai dari menjemput ke rumahku sampai menungguku sepulang
sekolah tetapi hal itu hanya berlangsung beberapa hari, mungkin dia mulai kesal
padaku yang sekarang selalu mengacuhkannya.

Aku
sekarang tidak terlalu dekat dengan Syifa, walaupun kita sebangku tetapi aku
selalu berusaha cuek kepadanya. Aku lebih sering bergabung dengan Nara, Santi,
dan Rani yang tidak dekat dengan Syifa. Pulang sekolah aku berkumpul lagi
dengan Nara, Santi, dan Rani sempat terlintas Syifa dipikiranku, tetapi
sudahlah mungkin dia sudah pulang dan aku tidak akan memperdulikan lagi, aku
memang berusaha tidak memperdulikannya belakangan ini, tetapi sulit sekali
ternyata melupakan Syifa yang sudah lama menjadi sahabatku. Ketika aku berada
di tempat yang ramai entah kenapa aku lebih memikirkan Syifa.
Kami
menghabiskan waktu di kedai kecil depan sekolah, bukan hanya Nara, Santi, dan
Rani saja, ada pula anak-anak laki-laki dari sekolah mereka yang ikut nongkrong
di kedai itu. Saat aku sedang asyik menikmati kopi dingin tiba-tiba ada
seseorang yang memegang pundakku, saat aku menengok ternyata dia hanya Roni
teman sekelasku, aku tersenyum kepadanya dan menikmati minumanku kembali.
Beberapa lama kemudian aku merasa ada yang membelai rambutku, jujur aku merasa
terganggu dan aku menepis tangan seseorang yang membelai rambutku itu dan aku
tidak mengenal orang tersebut, mungkin kalau dilihat dari tampangnya seperti
orang yang berumur tiga puluhan. Aku, Nara, dan yang lainnya baru pulang
setelah maghrib dan parahnya ternyata hanya aku yang pulang berjalan,
sebenarnya ada dua orang lagi yang pulang berjalan kaki tetapi mereka pulang ke
arah yang berlawanan denganku. Sempat aku khawatir dengan perjalanan pulang
nanti aku berjalan seorang diri, tetapi aku menghilangkan rasa takutku dan
perasaaan lainku yang campur aduk itu
sambil berjalan perlahan menuju ke rumah.
Semilir
angin malam yang sejuk membuat rambutku yang sengaja tergerai terkibas cantik
oleh angin, untungnya kedai itu letaknya di depan sekolah jadi tidak terlalu
jauh untuk menuju ke rumahku. Di perjalanan pulang aku melewati rombongan
laki-laki yang masih mengenakan seragam sekolah yang tidak aku kenali, aku
tetap berjalan santai, tetapi tiba- tiba mereka menggodaku, ada yang menepuk
kepalaku hingga mencolek-colek pipiku, aku ingin marah tetapi aku takut karena
rombongan mereka sangat banyak, aku ingin teriak tapi aku takut mereka semakin
senang menggodaku, aku merasa diriku tidak berharga karena telah di sentuh
seenaknya apalagi oleh orang-orang itu yang sama sekali tidak aku kenali. Aku langsung berlari secepat yang aku bisa
menuju ke rumahku, ingin rasanya aku langsung menuju ke rumah Syifa yang letaknya
tidak jauh dari rumahku, tetapi aku kurungkan niat itu.
Keesokan
harinya aku masih melanjutkan kebiasaanku yang suka pulang malam, walau
kejadian kemarin membuatku kesal tetapi sekarang aku mulai terbiasa dengan itu
walaupun belum puas rasanya jika belum bercerita dengan Syifa. Kali ini aku dan
teman-temanku mampir di warung steak yang letaknya sedikit lebih jauh dari
sekolah. Saat aku sedang asyik menyantap steak tiba-tiba ada dua orang pria
yang memakai masker tiba-tiba mereka mengrahkan celurit mereka ke arah kami,
kami pun ketakutan dan hanya bisa angkat tangan. Kalung emasku diambil oleh
salah satu dari mereka dengan kasarnya dia melepaskan kalung emas kesayanganku
itu dari leherku, aku hanya bisa menangis karena aku sangat ketakutan, tetapi
beruntung dari kami tidak ada yang terluka. Setelah kedua orang itu sudah
pergi, aku dan teman-temanku langsung pulang ke rumah msing-masing, beruntung
kali ini ada Rani yang hanya naik motor sendiri dan rumahnya searah denganku.
Sesampainya
aku di rumah, aku langsung mandi dan mengenakan piyamaku. Aku keluar menikmati
angin malam sambil merenung di balkon kamarku yang hanya di temani oleh cahaya
bulan tanpa bintang, rasanya sepi seperti diriku tanpa Syifa. Aku berfikir
dengan semua yang Syifa katakan padaku satu persatu ketika aku mengacuhkannya,
aku sadar semua orang punya kebebasan masing-masing, tidak akan bisa aku yang
hanya seorang sahabatnya mengatur dia semauku. Aku sadar selama ini sedekat
apapun aku pada teman-temanku, aku hanya bisa bercerita tentang kesenangan dan
kesedihan hidupku kepada Syifa, karena di akhir ceritaku dia selalu memberiku
nasihat ataupun saran yang baru aku sadari jika itu sangat berguna. Tekadku
sudah bulat, besok aku harus meminta maaf kepada Syifa.
Pagi
ini mentari tampaknya sebagian terhalang awan gelap, langkah kecilku berjalan
ke arah rumah Syifa. Hatiku tidak tenang memikirkan apa yang nanti akan
terjadi, apakah seperti mentari yang bersinar dan tak terhalang awan gelap
lagi, atau apakah seperti mentari terhalang awan kemudian hujan, aku terus
menerus memikirkannya sejak aku bangun tadi.
Aku
membunyikan bel rumah Syifa, lalu menunggu Syifa dengan keadaanku yang tak
menentu. Aku langsung memelukya ketika dia keluar dari pagar rumahnya. Aku
meminta maaf kepada Syifa dan aku mengakui itu semua terjadi karena
kesalahanku, Syifa terlihat sangat senang karena kami sudah bermaafan. Aku
langsung bercerita banyak kepada Syifa tentang apa saja yang terjadi selama aku
tidak bersamanya, begitu juga dengan Syifa yang juga selalu berbagi ceritanya
denganku. Kami bercerita sejak berjalan dari rumah ke sekolah hingga saat di
sekolahpun masih saja bercerita. Beberapa hari hanya diam dengan teman sebangku
itu rasanya hambar, beruntung manisnya telah kami kembalikan hari ini. Ketika
aku menceritakan tentang orang-orang yang menggangguku sampai ada perampok yang
mencuri kalungku Syifa terlihat sangat kesal, dia sampai mengepalkan tangannya
ketika aku menceritakan tentang hal tersebut. Syifa memberi saran kepadaku
untuk memakai jilbab, tetapi aku hanya terdiam termenung, walau sarannya benar
juga, andai saat itu aku memakai jilbab pasti tidak akan banyak yang
menggangguku dan andai kemarin aku pakai jilbab pasti hingga kini kalung
kesayangan dari nenekku pasti masih tetap cantik di leherku, namun hal itu
hanya aku pikirkan sesaat dan aku memutuskan untuk melupakan kejadian-kejadian
yang lalu.
Aku
senang sekali karena mentari bersinar cerah hari ini, seperti memihak padaku
karena aku dan Syifa sudah berbaikan. Saking senangnya aku mengajak Syifa ke
mall sepulang sekolah. Aku dan Syifa berjalan-jalan ke mall yang letaknya tidak
jauh dari sekolah kami, sudah lama sekali rasanya kami tidak pernah
berjalan-jalan bersama lagi. Kami memutuskan untuk makan kemudian melihat-lihat
baju, entah kenapa aku setuju dan mengikuti Syifa memasuki salah satu toko
busana muslim yang letaknya strategis di mall tersebut. Aku tertarik dengan
salah satu baju lengan panjang yang ada di sana dan kebetulan baju lengan
panjangku memang tidak banyak, sedangkan Syifa membeli rok dan jilbab yang
cantik. Sebenarnya aku juga suka dengan jilbab yang Syifa beli, tetapi kupikir
lagi kalau aku beli pun tidak akan aku pakai.
Kami mengantri di kasir, di belakang kami
tampak seorang anak kecil yang kira-kira berusia delapan tahun dengan wajah
ceria dan jilbabnya yang lucu, anak itu digandeng oleh ibunya yang membawa
beberapa baju di tangan satunya. Tiba-tiba anak itu melihatku dari atas sampai
bawah, entah kenapa aku malu karena tangan dan rambutku masih terlihat,
tiba-tiba saja anak itu menarik jilbab yang akan dibeli oleh ibunya dan menarik
tanganku agar aku menunduk, tanpa aku sangka anak itu tersenyum sambil
memakaikan aku jilbab yang akan dibeli oleh ibu anak itu, kemudian anak itu
berbisik kepadaku kalau aku lebih cantik menggunakan jilbab. Ibunya langsung
meminta maaf kepadaku atas ulah anaknya itu, aku hanya tersenyum tidak bisa
berkata apa-apa, hatiku sangat tersentuh. Syifa yang sejak tadi melihatku
terlihat tersenyum.
Setelah
kami keluar dari toko tadi, kami memutuskan untuk ke toko buku dan kami membeli
beberapa buku. Saat aku dan Syifa akan pulang, kami melewati toko pakaian yang
tadi. Entah kenapa tiba-tiba aku meminta pendapat Syifa bila aku menggenakan
jilbab, aku merasa malu kepada anak itu dan juga kepada Allah karena tidak
mentaati kewajiban-Nya. Akhirnya saat itu juga aku memutuskan untuk kembali
lagi ke toko itu dan memilih beberapa jilbab untuk sekolah dibantu oleh Syifa
dan juga membeli jilbab yang tadi Syifa beli. Syifa terlihat bahagia dan
semangat, padahal dia sudah memberiku saran ketika tadi aku bercerita diganggu
laki-laki maka harus dibantu dengan perempuan yang menjaga auratnya, tetapi
entah kenapa saat itu hatiku belum tersentuh dan kepolosan anak kecillah yang
akhirnya membuatku tersadar.
Hari
ini Syifa yang menyampar ke rumahku untuk berangkat ke sekolah bersama, dia
terlihat senang dan memelukku ketika aku keluar rumah menggunakan jilbab. Kini
aku sadar jika jilbab bukan hanya sekedar kewajiban tetapi juga kebutuhan agar
kita selalu terhindar dari hal yang tidak kita inginkan. Di hari pertama aku
mengenakan jilbab yang sesungguhnya, hari ini pula aku bergabung di rohis
bersama Syifa dan teman-teman rohis lainnya, seperti mentari cerah hari ini
yang ikut senang karena aku berjilbab. Aku tersadar seharusnya aku seperti
mentari yang silau supaya menundukan pandangan laki-laki, bukan menjadi seperti
bulan yang bisa dipandang seenaknya.
Dengan
jilbab aku menjadi lebih nyaman, tidak ada lagi yang menggangguku dan aku
merasa diriku sangat berharga dan tidak akan ada sembarang orang yang melihat
auratku. Jilbabku yang awalnya hanya melindungi aurat, sekarang juga telah
melindungi hatiku dari hal-hal jahat dan membuatku belajar lebih banyak untuk
taat kepada-Nya. Sekarang aku lebih rajin membaca Al-Qur’an dan buku-buku
islam, shalatku tidak bolong-bolong lagi dan mulai tepat waktu, tak lupa juga
persahabatanku dengan Syifa yang semakin erat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar