Kereta dengan Satu Gerbong Dua Pintu
Stasiun
itu masih sepi. Wajar karena saat itu masih pukul 00.30 dan udara pagi yang
dingin memaksaku mengenakan mantel.
Kesan
pertama yang kuperoleh saat masuk ke stasiun itu adalah bahwa stasiun itu sudah
lama tak terpakai. Tidak seperti layaknya sebuah stasiun kereta api, disana tak
kulihat pedagang asongan, penjual koran, pengamen, tukang semir sepatu, bahkan
pengemis tak kujumpai seorang pun. Juga para pencopet yang sering berkeliaran
di tempat-tempat umum. Yang tampak hanya beberapa orang yang tengah duduk
menunggu datangnya kereta. Wajah mereka begitu pucat. Aku tak begitu
memperhatikan mereka, tetapi aku seperti sudah lama mengenal mereka. Aku rasanya
sudah begitu akrab dengan mereka dan aku sepertinya sudah tahu bahwa mereka
punya tujuan yang sama. Juga menunggu kereta yang sama.
Sebuah
lokomotif datang dari arah timur. Menarik satu gerbong dengan dua pintu. Satu
di bagian depan, satu lagi di belakang. Tapi aku tak melihat tanda-tanda
kebahagiaan terpancar dari wajah para calon penumpang dengan datangnya kereta
tersebut. Padahal aku yakin bahwa inilah kereta yang mereka tunggu. Wajah
mereka tampak pasrah. Dan seperti sudah dikomando mereka serentak bersiap untuk
naik kereta dengan satu gerbong itu. Satu-satunya kereta yang akan berangkat
lewat tengah malam.
Stasiun
sudah sepi. Aku baru sadar bahwa semua yang ada di tempat itu telah masuk ke
dalam kereta. Tinggal aku seorang yang masih setia menghuni peron. Aku masih
tetap menunggu kapan kereta itu akan diberangkatkan. Tetapi karena sampai
sepuluh menit kemudian kereta tak juga meninggalkan stasiun, terlintas
keingintahuan dalam hati. Ada apa gerangan dengan kereta itu, pikirku. Aku
menduga bahwa kereta itu sedang menunggu seorang penumpang. Mungkin Ia belum
tiba di stasiun atau boleh jadi sedang ke kamar kecil.
Kedatangan
kereta dengan satu gerbong itu membuatku ragu ragu. Benda sebesar ular naga
biasanya panjang itu, namun saat itu hanya tinggal beberapa meter saja, secara
tiba-tiba muncul saja dari arah timur membuatku tak habis pikir. Sebelum
kedatangannya tak ada tanda-tanda akan datangnya sebuah kereta, baik berupa
informasi lewat pengeras suara, lewat suara mesin kereta itu sendiri, lewat lampu
depan lokomotif, maupun lewat kegelisahan yang biasa terpancar dari wajah calon
penumpang yang tengah menanti kedatangannya. Sesaat sebelum kedatangan kereta
itu, stasiun itu masih sunyi. Begitu juga saat kereta itu secara tiba-tiba
muncul dari arah timur dan berhenti di stasiun itu. Tetap sunyi. Yang terdengar
hanya irama napas calon penumpang yang kian terasa berat. Mereka seakan tahu
persis bahwa kereta akan tiba di stasiun tepat lewat tengah malam.
Aku
melirik jam yang masih tetap melingkar di tangan kiriku. Aku teringat
seseorang. Dialah yang telah memberikan jam itu padaku.
Pada
saat pukul 01.00 berarti sekitar setengah jam kereta tersebut berada di stasiun
ini. Tapi kereta itu juga tak berangkat. Belum terdengar peluit petugas stasiun
dibunyikan. Bahkan, sepertinya tak ada tanda-tanda sama sekali bahwa peluit
akan segera ditutup dan kereta akan segera berangkat. Mungkin masinisnya belum
ada, aku coba menerka apa sebenarnya yang terjadi pada kereta itu. Tapi rasanya
tidak mungkin karena aku sama sekali tidak melihat seorang pun tampak keluar
dari lokomotif semenjak kereta itu datang. Berarti orang yang menjalankan
kereta itu masih berada di dalam lokomotif. Mungkin ada kerusakan yang lain
atau mungkin kereta itu benar-benar sedang menunggu seorang penumpang yang
belum naik sebagaimana dugaanku pertama. Tapi siapa? Bukankah semua penumpang
sudah naik? Mungkinkah aku? Ahh, tapi rasanya tidak mungkin. Aku belum memesan
tiket. Aku tidak punya tiket. Bahkan, aku sama sekali tak punya niat untuk
pergi dengan kereta itu. Aku justru semakin penasaran dengan keberadaan kereta
dengan satu gerbong di stasiun itu yang tak juga beranjak dari tempat semula
nya. Hal inilah kemungkinan yang telah menuntun kakiku sehingga tanpa kusadari
aku telah berada dalam satu-satunya gerbong didalam stasiun itu.
Begitu
masuk aku tercengang. Keadaan di dalam gerbong kereta itu sangat berkebalikan
dengan apa yang pernah kubayangkan sebelumnya. Ruang di dalam gerbong itu
ternyata panjangnya tak terbatas. Dan juga, ternyata di dalam gerbong itu telah
duduk ratusan ribu atau bahkan mungkin jutaan penumpang, bukan hanya beberapa
orang sebagaimana yang tadi kulihat masuk ke dalam gerbong. Mereka tetap tenang
meskipun kereta tetap tak menunjukkan tanda-tanda akan segera berangkat. Tak sedikitpun
kegelisahan terpancar dari raut muka mereka.
Aku
berusaha mengamati penumpang satu demi satu. Ternyata mereka mengenakan semacam
lencana yang sekilas tampak seragam. Aku memejamkan mata dan mendapatkan bahwa
sebenarnya lencana yang mereka kenakan berlainan motif satu sama lain. Ada yang
bermotif kaligrafi dengan dua kalimat syahadat melingkar. Ada motif salib, baik
dilengkapi motif Yesus maupun tidak. Ada yang bermotif Buddha. Ada yang
bermotif Dewa Brahma, Wisnu, dan Siwa, serta berbagai motif dewa yang sama
sekali sangat asing bagiku. Di antara motif pada setiap lencana tertulis kata
‘Masjid’, ‘Gereja’, ‘Wihara’, ‘Pura’, dan masih banyak lagi yang tidak aku
kenal yang aku yakin semua itu merujuk pada suatu tempat. Selain lencana, aku
melihat bahwa mereka memegang semacam buku catatan di tangan masing-masing.
Buku-buku catatan itu ada yang berjudul Al-Quran, Alkitab, Tripitaka, Weda,
serta berbagai judul lainnya.
Kuayunkan
langkahku ke bagian belakang dari gerbong kereta itu. Ada tampak suami istri.
Dilihat dari cara berinteraksi bahwa mereka adalah pengantin baru. Aku kembali
teringat seseorang. Dialah yang pernah melingkarkan jam tangan yang masih
melekat di tangan ku hingga saat ini detik ini. Sekali lagi, tak kulihat sama
sekali perasaan bahagia terpancar dari wajah sepasang suami istri itu. Bahkan,
justru terkesan suram. Aku terus berjalan. Kulihat ada dua wanita. Yang satu
sepertinya hamil tua dan yang satu lagi tampaknya baru saja melahirkan. Ia
menggendong seorang bayi yang masih merah dengan darah yang masih belum
mengering. Di sudut lain seorang bocah merintih kesakitan. Laki-laki yang
sebentar sebentar batuk, nenek jompo, pemuda-pemuda kecanduan, gadis-gadis
kudisan, remaja korengan, darah yang tercecer, nanah, busuk, dan segala yang
tidak enak yang jelas berbeda dengan apa yang kulihat sebelumnya di bagian
depan gerbong yang sama.
Aku
melangkah keluar dari pintu kedua dan bersiap untuk meninggalkan kereta itu
ketika tiba tiba sebuah suara memanggil namaku. Lalu aku menoleh. Ternyata dia
masih ada di sana. Dalam kereta, kuajak dia turun saat kulihat tak satu pun
lencana melekat di tubuhnya, juga tak selembar kertas pun di tangan nya,
apalagi sebuah buku catatan. Aku hampir saja terlambat karena kereta mau mulai
bergerak perlahan, dan aku berhasil membawanya keluar dari kereta itu. Kereta
dengan satu gerbong dua pintu yang datang dari arah timur itu menuju ke barat
ke arah matahari tenggelam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar