Selasa, 01 November 2016

Karya Gabriel

Kereta dengan Satu Gerbong Dua Pintu

            Stasiun itu masih sepi. Wajar karena saat itu masih pukul 00.30 dan udara pagi yang dingin memaksaku mengenakan mantel.

            Kesan pertama yang kuperoleh saat masuk ke stasiun itu adalah bahwa stasiun itu sudah lama tak terpakai. Tidak seperti layaknya sebuah stasiun kereta api, disana tak kulihat pedagang asongan, penjual koran, pengamen, tukang semir sepatu, bahkan pengemis tak kujumpai seorang pun. Juga para pencopet yang sering berkeliaran di tempat-tempat umum. Yang tampak hanya beberapa orang yang tengah duduk menunggu datangnya kereta. Wajah mereka begitu pucat. Aku tak begitu memperhatikan mereka, tetapi aku seperti sudah lama mengenal mereka. Aku rasanya sudah begitu akrab dengan mereka dan aku sepertinya sudah tahu bahwa mereka punya tujuan yang sama. Juga menunggu kereta yang sama.

            Sebuah lokomotif datang dari arah timur. Menarik satu gerbong dengan dua pintu. Satu di bagian depan, satu lagi di belakang. Tapi aku tak melihat tanda-tanda kebahagiaan terpancar dari wajah para calon penumpang dengan datangnya kereta tersebut. Padahal aku yakin bahwa inilah kereta yang mereka tunggu. Wajah mereka tampak pasrah. Dan seperti sudah dikomando mereka serentak bersiap untuk naik kereta dengan satu gerbong itu. Satu-satunya kereta yang akan berangkat lewat tengah malam.

            Stasiun sudah sepi. Aku baru sadar bahwa semua yang ada di tempat itu telah masuk ke dalam kereta. Tinggal aku seorang yang masih setia menghuni peron. Aku masih tetap menunggu kapan kereta itu akan diberangkatkan. Tetapi karena sampai sepuluh menit kemudian kereta tak juga meninggalkan stasiun, terlintas keingintahuan dalam hati. Ada apa gerangan dengan kereta itu, pikirku. Aku menduga bahwa kereta itu sedang menunggu seorang penumpang. Mungkin Ia belum tiba di stasiun atau boleh jadi sedang ke kamar kecil.

            Kedatangan kereta dengan satu gerbong itu membuatku ragu ragu. Benda sebesar ular naga biasanya panjang itu, namun saat itu hanya tinggal beberapa meter saja, secara tiba-tiba muncul saja dari arah timur membuatku tak habis pikir. Sebelum kedatangannya tak ada tanda-tanda akan datangnya sebuah kereta, baik berupa informasi lewat pengeras suara, lewat suara mesin kereta itu sendiri, lewat lampu depan lokomotif, maupun lewat kegelisahan yang biasa terpancar dari wajah calon penumpang yang tengah menanti kedatangannya. Sesaat sebelum kedatangan kereta itu, stasiun itu masih sunyi. Begitu juga saat kereta itu secara tiba-tiba muncul dari arah timur dan berhenti di stasiun itu. Tetap sunyi. Yang terdengar hanya irama napas calon penumpang yang kian terasa berat. Mereka seakan tahu persis bahwa kereta akan tiba di stasiun tepat lewat tengah malam.

            Aku melirik jam yang masih tetap melingkar di tangan kiriku. Aku teringat seseorang. Dialah yang telah memberikan jam itu padaku.

            Pada saat pukul 01.00 berarti sekitar setengah jam kereta tersebut berada di stasiun ini. Tapi kereta itu juga tak berangkat. Belum terdengar peluit petugas stasiun dibunyikan. Bahkan, sepertinya tak ada tanda-tanda sama sekali bahwa peluit akan segera ditutup dan kereta akan segera berangkat. Mungkin masinisnya belum ada, aku coba menerka apa sebenarnya yang terjadi pada kereta itu. Tapi rasanya tidak mungkin karena aku sama sekali tidak melihat seorang pun tampak keluar dari lokomotif semenjak kereta itu datang. Berarti orang yang menjalankan kereta itu masih berada di dalam lokomotif. Mungkin ada kerusakan yang lain atau mungkin kereta itu benar-benar sedang menunggu seorang penumpang yang belum naik sebagaimana dugaanku pertama. Tapi siapa? Bukankah semua penumpang sudah naik? Mungkinkah aku? Ahh, tapi rasanya tidak mungkin. Aku belum memesan tiket. Aku tidak punya tiket. Bahkan, aku sama sekali tak punya niat untuk pergi dengan kereta itu. Aku justru semakin penasaran dengan keberadaan kereta dengan satu gerbong di stasiun itu yang tak juga beranjak dari tempat semula nya. Hal inilah kemungkinan yang telah menuntun kakiku sehingga tanpa kusadari aku telah berada dalam satu-satunya gerbong didalam stasiun itu.

            Begitu masuk aku tercengang. Keadaan di dalam gerbong kereta itu sangat berkebalikan dengan apa yang pernah kubayangkan sebelumnya. Ruang di dalam gerbong itu ternyata panjangnya tak terbatas. Dan juga, ternyata di dalam gerbong itu telah duduk ratusan ribu atau bahkan mungkin jutaan penumpang, bukan hanya beberapa orang sebagaimana yang tadi kulihat masuk ke dalam gerbong. Mereka tetap tenang meskipun kereta tetap tak menunjukkan tanda-tanda akan segera berangkat. Tak sedikitpun kegelisahan terpancar dari raut muka mereka.

            Aku berusaha mengamati penumpang satu demi satu. Ternyata mereka mengenakan semacam lencana yang sekilas tampak seragam. Aku memejamkan mata dan mendapatkan bahwa sebenarnya lencana yang mereka kenakan berlainan motif satu sama lain. Ada yang bermotif kaligrafi dengan dua kalimat syahadat melingkar. Ada motif salib, baik dilengkapi motif Yesus maupun tidak. Ada yang bermotif Buddha. Ada yang bermotif Dewa Brahma, Wisnu, dan Siwa, serta berbagai motif dewa yang sama sekali sangat asing bagiku. Di antara motif pada setiap lencana tertulis kata ‘Masjid’, ‘Gereja’, ‘Wihara’, ‘Pura’, dan masih banyak lagi yang tidak aku kenal yang aku yakin semua itu merujuk pada suatu tempat. Selain lencana, aku melihat bahwa mereka memegang semacam buku catatan di tangan masing-masing. Buku-buku catatan itu ada yang berjudul Al-Quran, Alkitab, Tripitaka, Weda, serta berbagai judul lainnya.

            Kuayunkan langkahku ke bagian belakang dari gerbong kereta itu. Ada tampak suami istri. Dilihat dari cara berinteraksi bahwa mereka adalah pengantin baru. Aku kembali teringat seseorang. Dialah yang pernah melingkarkan jam tangan yang masih melekat di tangan ku hingga saat ini detik ini. Sekali lagi, tak kulihat sama sekali perasaan bahagia terpancar dari wajah sepasang suami istri itu. Bahkan, justru terkesan suram. Aku terus berjalan. Kulihat ada dua wanita. Yang satu sepertinya hamil tua dan yang satu lagi tampaknya baru saja melahirkan. Ia menggendong seorang bayi yang masih merah dengan darah yang masih belum mengering. Di sudut lain seorang bocah merintih kesakitan. Laki-laki yang sebentar sebentar batuk, nenek jompo, pemuda-pemuda kecanduan, gadis-gadis kudisan, remaja korengan, darah yang tercecer, nanah, busuk, dan segala yang tidak enak yang jelas berbeda dengan apa yang kulihat sebelumnya di bagian depan gerbong yang sama.


            Aku melangkah keluar dari pintu kedua dan bersiap untuk meninggalkan kereta itu ketika tiba tiba sebuah suara memanggil namaku. Lalu aku menoleh. Ternyata dia masih ada di sana. Dalam kereta, kuajak dia turun saat kulihat tak satu pun lencana melekat di tubuhnya, juga tak selembar kertas pun di tangan nya, apalagi sebuah buku catatan. Aku hampir saja terlambat karena kereta mau mulai bergerak perlahan, dan aku berhasil membawanya keluar dari kereta itu. Kereta dengan satu gerbong dua pintu yang datang dari arah timur itu menuju ke barat ke arah matahari tenggelam. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar